Thursday, November 15, 2007
Menikmati Masakan Thailand Bersama Pak Waluyo
Bagi orang yang berasal dari golongan menegah ke atas, makan malam mewah seharga ratusan ribu rupiah atau kopi franchise seharga Rp. 30.000,00-an satu cup mungkin hal biasa. Tidak demikian bagi Pak Waluyo. Sebagai houseman di ITB, pria 43 tahun ini bertanggung jawab atas kebersihan 5 gedung di ITB. Tugasnya cukup melelahkan, mulai dari membersihkan ruangan, menyapu bagian luar gedung, sampai mengelap jendela. Untuk itu, bapak dua anak ini dibayar Rp.19.000,00 per hari yang diberikan per bulan. Istrinya hanya sesekali menerima jahitan di rumah mereka di daerah Cicaheum, Bandung. Karena kedua anaknya belum bekerja, praktis Pak Waluyolah yang menjadi tulang punggung keluarga.

Penghasilannya tentu saja tidak bisa dibilang besar, apalagi jika dibandingkan dengan harga barang-barang kebutuhan pokok saat ini. Pak Waluyo yang lulusan SMP ini mengakui, prioritasnya adalah pendidikan anak, bukan makanan. “Makan apa saja lah, seadanya saja,” akunya. “Paling sayur, tahu, tempe, atau telur. Sekali-kali kalau ada rezeki ngajak keluarga ke rumah makan Padang.” Untunglah setiap hari Rabu dan Jumat Pak Waluyo mendapat jatah makan siang dari ITB sehingga pengeluarannya dapat ditekan. Di luar hari-hari itu, biasanya dia makan di warteg-warteg di daerah Balubur. Pak Waluyo yang mengaku tidak punya makanan favorit ini tidak pernah mencoba makanan asing, bukan karena tidak ingin, tapi karena tidak punya cukup uang. Makanan asing memang seringkali diidentikkan dengan mahal.

Ketika kami ajak mencoba makanan asing, pria yang cukup ramah ini langsung mengiyakan. Restoran Thailand, Raa Cha Suki & Barbeque yang berada di Cihampelas Walk menjadi pilihan kami sore itu. Kami sengaja memilih tempat duduk di terasnya untuk menghadirkan suasana yang berbeda. Restoran ini memiliki cara penyajian yang unik: kita dapat memilih sendiri makanan yang kita mau yang disajikan di etalase panjang, kemudian setelah membayarnya di kasir kita dapat merebusnya sendiri dalam pot berisi kaldu ayam yang ada di masing-masing meja.

Kebingungan tampak jelas di wajah Pak Waluyo saat harus memilih makanan. Akhirnya, dia meminta kami untuk memilihkan makanan untuknya. Berbagai variasi ikan, sea food, jamur dan sayuran mentah kami pilihkan untuknya, beserta 3 jenis saus yang berbeda. Untuk hidangan penutup, kami memilih rujak ala Thailand. Sedangkan untuk minuman, Pak Waluyo lebih memilih teh daripada kopi.

Ketika harus memasak makanannya, sekali lagi Pak Waluyo menunjukkan kebingungannya. Dengan sedikit canggung dia terus mengaduk-aduk makanan di dalam pot. Begitu juga ketika harus memilih saus mana yang akan digunakan. ”Aneh,” itulah komentar pertama dari Pak Waluyo setelah mencicipi makanan yang sudah matang di mangkuknya. Makanan Thailand yang bercita rasa pedas dan asam memang pasti terasa aneh bagi lidah Pak Waluyo yang belum pernah mencicipinya sebelumnya. Apalagi Pak Waluyo sebelumnya juga belum pernah makan sea food. Tetapi ketika ditanya enak atau tidak, dia mengangguk-angguk saja. Tetapi dia mengaku sangat menyukai Thai ice tea-nya. ”Saya setiap hari minum teh, tapi belum pernah minum teh yang seperti ini. Rasanya beda, lebih segar.” Kurang dari 30 menit, semua makanan di meja sudah habis disantap.

Nilai 10 skala 10, itulah yang diberikan Pak Waluyo untuk restoran ini secara keseluruhan, dari rasa makanan sampai suasananya. Lalu, apakah setelah ini Pak Waluyo akan mengajak keluarganya ke restoran itu? ”Pingin sih pingin, tapi harganya nggak terjangkau,” jawabnya. Semoga saja Pak Waluyo bisa mendapat banyak rezeki sehingga sekali-kali bisa mengajak keluarganya ikut mencicipi rasa makanan Thailand yang unik, tidak melulu ke rumah makan Padang.

Labels:

 
posted by Adisti Dini Indreswari at 5:03 PM | Permalink |


0 Comments: