Wednesday, January 16, 2008
Climate Change: Kita, Penyebabnya!

Kita mungkin merasa prihatin menyaksikan bencana-bencana yang menjadi headline di berbagai media akhir-akhir ini. Mulai dari banjir, kekeringan, gagal panen, terancam punahnya spesies tertentu, sampai wabah penyakit yang melanda manusia. Kita mungkin sudah sadar semua itu ada hubungannya dengan climate change (perubahan iklim) yang bukan cuma isu, tapi benar-benar terjadi di bumi kita ini. Tapi sadarkah kita bahwa kita sendirilah penyebab climate change itu?

Aktivitas industri

Perindustrian merupakan penyumbang GRK (Gas Rumah Kaca) terbesar di bumi. Sejak revolusi indutri pada abad ke 18, industri berkembang dengan sangat pesat. Sayangnya, hal ini sejalan dengan semakin menurunnya kualitas lingkungan.

Perusahaan-perusahaan
industri menggunakan bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi, atau gas alam) dalam menghasilkan energi. Hasil sampingan dari pembakaran ini adalah GRK yang diemisikan ke udara. Ada enam gas yang termasuk kategori GRK, antara lain karbondioksida (CO2), dinitroksida (
N2O), metana (CH4), sulfurgeksafluorida (SF6), perfluorokarbon (PFCs), dan hidrofluorokarbon (HFCs). Pada awal revolusi industri, konsentrasi CO2 yang merupakan GRK terbanyak di atmosfer diperkirakan sekitar 280 ppm. Dengan laju peningkatan sebesar 0,4% per tahun selama 100 tahun ini, diperkirakan konsentrasi CO2 pada akhir tahun 2025 akan menjadi dua kali lipatnya. Jika dirata-rata, setiap orang di negara industri menghasilkan 3,2 ton gas CO2. Jumlah ini empat kali lipat dari yang rata-rata dihasilkan oleh orang di negara berkembang.

Berdasarkan Peraturan
Pemerintah no. 27 tahun 1999, semua aktivitas industri pada saat perencanaannya harus membuat AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). AMDAL digunakan untuk menyusun desain rinci teknis dari kegiatan. Namun kenyataannya, masih banyak terjadi pencemaran lingkungan. Berdasarkan data kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup pada tahun 2006, dari 446 perusahaan industri
di Indonesia yang diteliti ada 72 perusahaan yang masuk kategori hitam dan 154 perusahaan yang masuk kategori merah karena mencemari lingkungan.

Transportasi

Transportasi merupakan penyumbang GRK terbesar kedua setelah perindustrian. Sama seperti aktivitas perindustrian, aktivitas transportasi juga menghasilkan GRK sebagai sampingan dari proses pembakarannya. Dari seluruh CO2 yang ditimbulkan oleh transportasi, 55% ditimbulkan oleh mobil pribadi, 26% oleh sepeda motor, dan 19% oleh kendaraan umum.

Kecenderungan
peningkatan jumlah penduduk di kota, yang terutama diakibatkan oleh urbanisasi, menyebabkan peningkatan mobilitas penduduk. Peningkatan mobilitas penduduk ini sayangnya tidak diimbangi oleh sarana dan prasarana tansportasi yang memadai. Di kota-kota besar di Indonesia, kemacetan atau angkutan umum yang ngetem sembarangan sudah menjadi pemandangan yang biasa. Padahal ini dapat memperburuk Efek Rumah Kaca. Penyebabnya adalah ketika mesin mobil dinyalakan dalam keadaan berhenti, mesin akan bekerja lebih keras daripada ketika mobil dijalankan, akibatnya semakin banyak CO2 yang diemisikan ke udara.
Konsumsi
emisi kendaraan bermotor sangat bergantung pada jenis bahan bakar dan kondisi pembakaran di dalam mesin. Mengandalkan Catalytic converter yang dapat mengurangi emisi per km tempuh kendaraan saja tidak cukup. Sebab jika jumlah kendaraan semakin banyak dan jarak tempuhnya juga jauh, emisi total akan tetap banyak. Rata-rata setiap kendaraan bermotor mengemisikan 3 ton CO2 per tahun.

Pembakaran Hutan dan Illegal Logging

Salah satu fungsi hutan adalah sebagai penyerap emisi GRK, atau biasa disebut carbon sink. Sejak Sekolah Dasar kita diajari bahwa pohon dapat menyerap CO2 dan menghasilkan O2 untuk respirasi makhluk hidup. Oleh karena itu penebangan hutan dan perubahan tata guna lahan (dari hutan menjadi bukan hutan) menyebabkan lepasnya sejumlah emisi GRK yang sebelumnya disimpan di dalam pohon.

Baru-baru ini Greenpeace meluncurkan peta satelit yang menunjukkan bahwa hutan-hutan di bumi berada dalam kondisi kritis. Area di bumi yang merupakan hutan kurang dari 10%. Seharusnya dengan luasnya kawasan hutan di Indonesia, yaitu sekitar 144 juta ha (tahun 2002), maka emisi GRK yang dapat diserap jumlahnya cukup banyak. Namun akibat pembakaran dan illegal logging (penebangan liar untuk kepentingan komersil), terjadi laju kerusakan hutan sekitar 2,2 juta ha per tahun. Akibatnya negara menderita kerugian finansial sebesar 1,2 trilyun per tahun. Tapi yang lebih penting adalah, climate change tidak dapat dikendalikan karena tidak ada cukup pohon untuk menyerap emisi GRK. Bahkan hutan juga menjadi penyumbang GRK, yaitu CO2 yang dihasilkan dari pembakaran hutan.


Bahkan
kegiatan sehari-hari kita yang mungkin dianggap sepele pun dapat melepaskan sejumlah emisi GRK ke atmosfer. Aktivitas yang menggunakan alat elektronik seperti menyalakan lampu, menonton televisi, menggunakan komputer, menyetrika pakaian, atau menyalakan AC menyumbang emisi CO2 ke udara. Pemakaian produk yang menggunakan aerosol dapat mengemisikan SF6, PFCs, dan HFCs. Begitu pula pembakaran sampah menghasilkan gas metana sebagai sampingannya.

Padahal,
kita sendiri jugalah yang akan merasakan dampak dari climate change ini. Jadi semuanya kembali ke diri kita. Apakah hanya akan berdiam diri atau mulai bertindak. Sebab merasa prihatin saja tidak cukup....

Labels:

 
posted by Adisti Dini Indreswari at 1:41 AM | Permalink | 0 comments
Tawa Ibu
Bagiku, di dunia ini tidak ada suara yang lebih merdu daripada suara tawa Ibu. Sejak masih jadi embrio di rahim Ibu, aku sudah sering mendengar suara tawanya. Tawa yang ceria, tapi juga hangat dan menenangkan hati. Aku bisa merasakan kalau ia mengelus-elus perutnya –tempatku meringkuk dalam kehangatan- sambil tertawa lembut. Kadang ia juga menyenandungkan lagu untukku, atau mengajakku bercakap-cakap, walaupun aku tidak mengerti sepatah kata pun yang diucapkannya. Yang aku mengerti hanyalah tawanya. Tawa yang mengalirkan kehangatan dan rasa nyaman ke dalam sel-sel tubuhku. Membuatku tidak sabar ingin segera lahir ke dunia, supaya bisa tahu seperti apa rupa wanita yang memiliki tawa yang begitu mengagumkan seperti ini.

Sebenarnya, masih ada satu suara tawa lagi yang melekat dalam memoriku. Tawa ini lebih dalam dan lebih berat. Tawa Ayah. Tapi tidak seperti tawa ibu, tawa Ayah terdengar kaku. Lagipula aku jarang sekali mendengarnya. Bagaimanapun juga, aku masih lebih menyukai tawa Ibu.

Aku berjanji, aku tidak akan pernah menyakiti dan mengecewakan wanita pemilik tawa ini.

***

Bagiku, di dunia ini tidak ada hal yang lebih indah dilihat daripada tawa Ibu. Kalau Ibu tertawa, matanya menyipit, tapi tetap memancarkan keramahan yang begitu besar. Lesung pipit di kedua pipinya terlihat jelas. Gigi depannya yang rapih mengintip malu-malu dari sela-sela kedua bibirnya.

Ibu sering sekali tertawa untukku. Saat melihatku bisa merangkak dan berjalan untuk pertama kalinya, Ibu tertawa. Saat membantuku mengenakan pakaian seragamku di hari pertama aku masuk TK, Ibu tertawa. Saat mengajariku naik sepeda, Ibu tertawa. Saat aku menunjukkan Raporku yang dipenuhi angka 9, Ibu tertawa. Saat aku menunjukkan gambar pemandangan yang kubuat, Ibu tertawa. Saat aku memenangkan lomba busana daerah atau lomba mewarnai, Ibu tertawa. Kami juga sering mengobrol dan melakukan banyak hal bersama layaknya dua orang sahabat, lalu tertawa bersama.

Ya, Ibu menghadapi semua hal dengan tawa. Walaupun Ayah sering kasar terhadapnya, Ibu cuma tertawa. Walaupun Ayah sering tidak pulang ke rumah, Ibu cuma tertawa. Tidak pernah sekali pun aku melihat air mata menetes dari matanya, atau raut murung di wajahnya. Yang ada cuma tawa.

“Ayahmu sibuk kerja cari uang, tapi nanti pasti pulang,” ujarnya setiap kali aku menanyakan keberadaan Ayah, sambil tersenyum dan tertawa lembut padaku.

Aku berjanji, aku tidak akan pernah menyakiti dan mengecewakan wanita pemilik tawa ini.

***

Sudah beberapa tahun terakhir ini Ayah tidak pernah pulang ke rumah. Aku tidak ingat berapa lama tepatnya. Rasanya aku bahkan sudah lupa seperti apa wajah Ayah, karena Ibu telah menyingkirkan semua foto dan benda yang berhubungan dengannya dari rumah ini.

Sudah selama itu juga, aku tidak pernah lagi melihat atau mendengar tawa Ibu. Bahkan, sudah lama aku tidak mengobrol dengan Ibu. Ibu selalu pergi meninggalkanku di rumah pada sore hari dan pulang larut malam, dengan pakaian minim dan make-up menor. Pulang diantar lelaki yang berbeda dengan mobil yang berbeda setiap harinya. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya.

Yang aku tahu, kami tidak pernah kekurangan uang. Padahal Ayah tidak pernah mengirimi kami uang, dan sebelum ini Ibu cuma ibu rumah tangga biasa yang tidak punya penghasilan. Tapi aku bisa masuk SMA swasta bergengsi di kotaku. Kami tetap bisa tinggal di rumah besar kami. Dan Ibu bisa membeli beberapa stel baju bermerk dan make-up baru setiap minggunya.

Padahal aku tidak meminta semua uang dan harta ini. Aku cuma minta kehadiran Ibu di sisiku. Dan tawanya.

“Kamu jangan protes! Ibu lakukan ini semua buat kamu. Kalau tidak begini, kita mau makan apa? Semua ini gara-gara Ayahmu, laki-laki yang tidak bertanggung jawab!” makinya suatu dini hari ketika baru pulang ke rumah. Jalannya sempoyongan, bau alkohol tercium dari mulutnya.

Aku berjanji, aku tidak akan pernah menyakiti dan mengecewakan wanita ini, walaupun ia tidak pernah tertawa seperti dulu lagi.

***

Siang itu panas sekali. Sambil berjalan kaki, aku merasakan pakaian seragamku menempel di punggung karena keringat. Sesampainya di rumah, aku mendapati Ibu sedang berbicara di telepon. Aku cuma menangkap perkataannya sepotong-sepotong.

“Tolonglah saya… Saya lagi butuh uang… Masa sih Mas nggak mau lagi sama saya?… Memangnya Mas cari perempuan yang bagaimana?… Apa?… Yang masih bau kencur?…”

Aku menghampiri Ibu untuk mencium tangannya. Ketika melihatku, mata Ibu langsung melebar. Mulutnya membulat. Pembicaraannya di telepon terhenti. Ia terus menatapku dengan pandangan menilai.

Aku cuma bisa balas menatapnya dengan pandangan penuh tanya.

***


“Kamu kok lama banget sih? Ibu sudah nunggu kamu lho dari tadi.”

Tidak kusangka, Ibu menjemputku di sekolah. Satu hal yang tidak pernah dilakukannya lagi sejak aku lulus SD. Sejak Ayah pergi.

“Kamu jangan heran begitu dong. Kan nggak apa-apa sekali-kali Ibu jemput kamu. Ayo, kita pergi!”

Aku berjalan mengikuti langkah Ibu yang pendek-pendek tapi cepat. Kami menuju sebuah sedan mewah bercat hitam yang terparkir di depan gerbang sekolahku.

“Memangnya kita mau ke mana, Bu? Ini mobil siapa?”

“Sudah, kamu nggak usah banyak tanya. Pokoknya kita bakal dapat uang banyak hari ini.”

Aku mengikuti Ibu masuk ke mobil itu dan duduk di jok belakang. Di balik kemudi, duduk seorang laki-laki entah siapa. Sepertinya dia sebaya dengan Ayah. Laki-laki itu memutar tubuhnya untuk melihatku. Lalu dia tersenyum padaku. Ada sesuatu yang aku tidak suka pada laki-laki ini. Senyumnya lebih seperti seringai, dan pandangan matanya liar, seperti serigala yang siap menerkam mangsanya.

Lalu dia mulai menjalankan mobilnya. Sepanjang perjalanan dia terus melirikku dari spion. Aku tidak tahu kami mau dibawa ke mana, tapi sepertinya Ibu tenang-tenang saja. Bahkan, beberapa kali Ibu terkikik-kikik genit pada laki-laki itu.

Mobil yang kami naiki memasuki tempat parkir sebuah hotel berbintang lima. Aku dan Ibu turun di depan lobi.

“Kami naik duluan ya. Saya siapkan dulu semuanya,” Ibu berkata pada laki-laki itu.

Aku terus mengikuti Ibu seperti anak anjing mengikuti majikannya. Kami masuk ke salah satu kamar setelah meminta kunci dari resepsionis. Lalu aku duduk di sofa. Ini hotel berbintang lima, dan mungkin ini salah satu kamar terbaiknya, tapi entah kenapa segala sesuatu yang ada di sini membuatku merasa tidak nyaman, mulai dari lampunya yang terlalu terang sampai sofanya yang terlalu empuk.

Lalu Ibu memberiku minuman entah apa. Minuman itu tidak enak rasanya. Tapi Ibu terus memaksaku meminumnya sampai habis. Pandanganku mulai kabur dan kepalaku mulai terasa nanar.

Aku merasakan laki-laki itu memasuki kamar dan menghampiriku.

Ibu, tolong aku... Aku ingin berteriak memanggil Ibu, tapi rasanya kerongkonganku terlalu lemah untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Pandanganku makin kabur dan kepalaku makin terasa nanar. Ingatanku melayang ke saat-saat Ibu masih sering tertawa untukku.

Laki-laki itu merengkuh tubuhku.
Ibu tertawa saat melihatku bisa merangkak dan berjalan untuk pertama kalinya.
Laki-laki itu mengendongku ke ranjang.
Ibu tertawa saat membantuku mengenakan pakaian seragamku di hari pertama aku masuk TK.
Laki-laki itu membaringkan tubuhku di atas ranjang yang empuk.
Ibu tertawa saat mengajariku naik sepeda.
Laki-laki itu membuka bajuku satu per satu.
Ibu tertawa saat aku menunjukkan Raporku yang dipenuhi angka 9.
Laki-laki itu lalu membuka bajunya sendiri.
Ibu tertawa saat aku menunjukkan gambar pemandangan yang kubuat.
Laki-laki itu itu naik ke atas ranjang.
Ibu tertawa saat aku memenangkan lomba busana daerah atau lomba mewarnai.
Aku tidak ingat apa-apa lagi.

***

Saat aku terbangun, laki-laki itu sudah tidak ada. Tubuhku hanya dibalut selimut hotel. Pakaian seragam putih-abuku tercecer di sisi ranjang. Kepalaku masih terasa nanar dan badanku seperti mati rasa.

Ibu duduk di sofa. Di tangannya tergenggam sebotol minuman yang berbuih-buih. Tangannya yang lain mengibas-ngibaskan beberapa lembar seratus ribuan. Matanya berkilat-kilat.

Lalu… ia tertawa. Tawa yang sudah lama tidak aku lihat. Tawa yang sudah lama tidak aku dengar. Tapi kali ini tawanya terlalu nyaring, terlalu mengintimidasi, dan terlalu seperti dibuat-buat. Ini bukan tawa Ibu.

Kepalaku mau pecah rasanya!

28 September 2006, 11:03 p.m.

* Cerpen ini kubuat berdasarkan request V-man, seorang teman yang suka bikin film. Waktu itu dia mau bikin film dengan tema ‘jatuh/terjatuh/menjatuhkan/dijatuhkan/pokoknya semua pengembangan kata jatuh deh’, dan dia minta aku bikin ceritanya. Lalu aku pikir, di antara semua pengembangan kata ‘jatuh’ itu, yang paling ngena adalah ‘dijatuhkan’, dan akan semakin ngena lagi kalau dijatuhkannya sama orang yang paling kita sayangi dan kagumi. Biasanya, yang paling disayangi dan dikagumi orang adalah ibunya. Lalu terciptalah tokoh anonim ini, seorang remaja cewek yang masih polos yang sangat menyayangi dan mengagumi ibunya, tapi dia dijatuhkan (dalam hal ini dijerumuskan) sama ibunya sendiri.

Akhirnya, film ini selesai dibuat pada awal 2007. Sedikit kecewa waktu lihat hasilnya karena banyak perubahan di sana-sini, inti ceritanya jadi nggak dapet lagi! Tapi bangga juga ada yang mau susah-susah memvisualisasikan cerita yang kutulis.

Pernah ada yang berkomentar, cerpen ini ‘Djenar Maesa Ayu banget’. Sama sekali nggak ada maksud buat meniru dia, but yes, she’s one of my favorite writer, I really adore her works, so of course I got influenced a lot by her.

Labels:

 
posted by Adisti Dini Indreswari at 1:28 AM | Permalink | 0 comments
Tuesday, January 15, 2008
LPM ITB, Production Housenya ITB
Tidak banyak yang tahu, di Gedung TVST ITB Lantai 2 terdapat sebuah studio. Ukurannya sekitar 5 x 8 m, dilapisi karpet warna biru dan berdinding putih. Peralatan yang ada di sana cukup lengkap, antara lain 3 buah kamera 3CCD, mixer video 4 channel plus monitornya, mixer audio, komputer grafis, clip on, touch screen infocus, peralatan lighting, dan lain–lain. Di luar studio, Primus nampak sedang asyik mengedit film di komputer. Dialah yang menjabat sebagai Koordinator LPM (Layanan Produksi Multimedia) ITB, pemilik studio itu.

Wajar saja kalau banyak yang belum tahu tentang LPM ITB, karena unit ini baru berdiri pada bulan Juli 2007 atas kerjasama USDI (Unt Sumber Daya Informasi) dan TVST (Televisi Saluran Terbuka) ITB. Adalah Hendi, Primus, dan Sahala yang menjadi pionir didirikannya LPM. “Sudah saatnya di ITB ada unit produksi khusus servis multimedia dan audio visual,” kata Primus yang merupakan alumni Teknik Elektro ITB. “Kebutuhan sudah banyak, tapi dari ITB belum ada yang menyediakan, biasanya dikerjakan oleh mahasiswa.”

Kebanyakan anggota LPM adalah alumni ITB yang saat kuliah bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa yang berkaitan dengan audio visual, yaitu LFM (Liga Film Mahasiswa) dan GTV (Ganesha TV). Hendi Wahyu yang menjabat sebagai Manajer LPM adalah pendiri GTV pada tahun 2000, sedangkan Sahala adalah anggota LFM. Primus sendiri mengaku, walaupun tidak pernah secara resmi bergabung dengan kedua unit tersebut, tapi sering diajak bekerja sama. Anggota resmi yang terikat kontrak ada 9 orang, biasanya kalau ada proyek barulah LPM melakukan outsourcing.

Konsep LPM sendiri sebenarnya sudah ada sejak lama. TVST yang sekarang lebih dikenal sebagai gedung kuliah umum di ITB dulu digunakan untuk kuliah jarak jauh dan tele conference. Ruangan studio itu pun sudah ada sejak tahun 1979. “Clipperboard itu sudah ada 30 tahun lho,” kata Primus sambil menunjuk sebuah clipperboard di sudut studio.

Kegiatan rutin LPM adalah mendokumentasikan kegiatan–kegiatan ITB, tentunya dengan angle dan editing yang bagus layaknya production house profesional. Sampai saat ini masih dibangun sistem untuk meng–upload hasil dokumentasi itu di website dan bisa diakses oleh semua orang, jadi semacam digital library. Studio digunakan untuk membuat company profile dan voice over kuliah jarak jauh. “Studio di semua stasiun TV Bandung nggak ada yang ngalahin studio ini,” kata Primus, bangga. Kadang LPM juga menerima proyek membuat berbagai film atau dokumentasi di luar ITB. “Paling seru waktu meliput debat calon Ketua Ikatan Alumni ITB di Gedung Sate, bisa mindah–mindahin furnitur dan ngatur Gubernur biar dapat angle yang bagus,” katanya lagi.

“Sukanya kalau orang mengerti nilai suatu dokumentasi,” jawab Primus ketika ditanya suka–dukanya bekerja di LPM. “Kaset kosong itu harganya cuma Rp. 35.000,00, tapi kalau sudah ada isinya jadi nggak ternilai.” Untuk dokumentasi sehari penuh, LPM mematok harga Rp. 8 juta. Sedangkan dukanya, “Kalau kami dibilang kemahalan dan cari untung, padahal satu set kamera itu harganya sudah Rp. 50 jutaan.”

Walaupun latar belakang pendidikannya bukan broadcasting, Primus mengaku senang bekerja di LPM. “Ini wadah saya untuk kreatif,” katanya sambil menceritakan gol besar LPM, yaitu menjadi sumber segala hal yang berkaitan dengan multimedia di ITB dan bisa diakses oleh semua orang.

Labels:

 
posted by Adisti Dini Indreswari at 6:13 PM | Permalink | 0 comments