Wednesday, January 16, 2008
Tawa Ibu
Bagiku, di dunia ini tidak ada suara yang lebih merdu daripada suara tawa Ibu. Sejak masih jadi embrio di rahim Ibu, aku sudah sering mendengar suara tawanya. Tawa yang ceria, tapi juga hangat dan menenangkan hati. Aku bisa merasakan kalau ia mengelus-elus perutnya –tempatku meringkuk dalam kehangatan- sambil tertawa lembut. Kadang ia juga menyenandungkan lagu untukku, atau mengajakku bercakap-cakap, walaupun aku tidak mengerti sepatah kata pun yang diucapkannya. Yang aku mengerti hanyalah tawanya. Tawa yang mengalirkan kehangatan dan rasa nyaman ke dalam sel-sel tubuhku. Membuatku tidak sabar ingin segera lahir ke dunia, supaya bisa tahu seperti apa rupa wanita yang memiliki tawa yang begitu mengagumkan seperti ini.

Sebenarnya, masih ada satu suara tawa lagi yang melekat dalam memoriku. Tawa ini lebih dalam dan lebih berat. Tawa Ayah. Tapi tidak seperti tawa ibu, tawa Ayah terdengar kaku. Lagipula aku jarang sekali mendengarnya. Bagaimanapun juga, aku masih lebih menyukai tawa Ibu.

Aku berjanji, aku tidak akan pernah menyakiti dan mengecewakan wanita pemilik tawa ini.

***

Bagiku, di dunia ini tidak ada hal yang lebih indah dilihat daripada tawa Ibu. Kalau Ibu tertawa, matanya menyipit, tapi tetap memancarkan keramahan yang begitu besar. Lesung pipit di kedua pipinya terlihat jelas. Gigi depannya yang rapih mengintip malu-malu dari sela-sela kedua bibirnya.

Ibu sering sekali tertawa untukku. Saat melihatku bisa merangkak dan berjalan untuk pertama kalinya, Ibu tertawa. Saat membantuku mengenakan pakaian seragamku di hari pertama aku masuk TK, Ibu tertawa. Saat mengajariku naik sepeda, Ibu tertawa. Saat aku menunjukkan Raporku yang dipenuhi angka 9, Ibu tertawa. Saat aku menunjukkan gambar pemandangan yang kubuat, Ibu tertawa. Saat aku memenangkan lomba busana daerah atau lomba mewarnai, Ibu tertawa. Kami juga sering mengobrol dan melakukan banyak hal bersama layaknya dua orang sahabat, lalu tertawa bersama.

Ya, Ibu menghadapi semua hal dengan tawa. Walaupun Ayah sering kasar terhadapnya, Ibu cuma tertawa. Walaupun Ayah sering tidak pulang ke rumah, Ibu cuma tertawa. Tidak pernah sekali pun aku melihat air mata menetes dari matanya, atau raut murung di wajahnya. Yang ada cuma tawa.

“Ayahmu sibuk kerja cari uang, tapi nanti pasti pulang,” ujarnya setiap kali aku menanyakan keberadaan Ayah, sambil tersenyum dan tertawa lembut padaku.

Aku berjanji, aku tidak akan pernah menyakiti dan mengecewakan wanita pemilik tawa ini.

***

Sudah beberapa tahun terakhir ini Ayah tidak pernah pulang ke rumah. Aku tidak ingat berapa lama tepatnya. Rasanya aku bahkan sudah lupa seperti apa wajah Ayah, karena Ibu telah menyingkirkan semua foto dan benda yang berhubungan dengannya dari rumah ini.

Sudah selama itu juga, aku tidak pernah lagi melihat atau mendengar tawa Ibu. Bahkan, sudah lama aku tidak mengobrol dengan Ibu. Ibu selalu pergi meninggalkanku di rumah pada sore hari dan pulang larut malam, dengan pakaian minim dan make-up menor. Pulang diantar lelaki yang berbeda dengan mobil yang berbeda setiap harinya. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya.

Yang aku tahu, kami tidak pernah kekurangan uang. Padahal Ayah tidak pernah mengirimi kami uang, dan sebelum ini Ibu cuma ibu rumah tangga biasa yang tidak punya penghasilan. Tapi aku bisa masuk SMA swasta bergengsi di kotaku. Kami tetap bisa tinggal di rumah besar kami. Dan Ibu bisa membeli beberapa stel baju bermerk dan make-up baru setiap minggunya.

Padahal aku tidak meminta semua uang dan harta ini. Aku cuma minta kehadiran Ibu di sisiku. Dan tawanya.

“Kamu jangan protes! Ibu lakukan ini semua buat kamu. Kalau tidak begini, kita mau makan apa? Semua ini gara-gara Ayahmu, laki-laki yang tidak bertanggung jawab!” makinya suatu dini hari ketika baru pulang ke rumah. Jalannya sempoyongan, bau alkohol tercium dari mulutnya.

Aku berjanji, aku tidak akan pernah menyakiti dan mengecewakan wanita ini, walaupun ia tidak pernah tertawa seperti dulu lagi.

***

Siang itu panas sekali. Sambil berjalan kaki, aku merasakan pakaian seragamku menempel di punggung karena keringat. Sesampainya di rumah, aku mendapati Ibu sedang berbicara di telepon. Aku cuma menangkap perkataannya sepotong-sepotong.

“Tolonglah saya… Saya lagi butuh uang… Masa sih Mas nggak mau lagi sama saya?… Memangnya Mas cari perempuan yang bagaimana?… Apa?… Yang masih bau kencur?…”

Aku menghampiri Ibu untuk mencium tangannya. Ketika melihatku, mata Ibu langsung melebar. Mulutnya membulat. Pembicaraannya di telepon terhenti. Ia terus menatapku dengan pandangan menilai.

Aku cuma bisa balas menatapnya dengan pandangan penuh tanya.

***


“Kamu kok lama banget sih? Ibu sudah nunggu kamu lho dari tadi.”

Tidak kusangka, Ibu menjemputku di sekolah. Satu hal yang tidak pernah dilakukannya lagi sejak aku lulus SD. Sejak Ayah pergi.

“Kamu jangan heran begitu dong. Kan nggak apa-apa sekali-kali Ibu jemput kamu. Ayo, kita pergi!”

Aku berjalan mengikuti langkah Ibu yang pendek-pendek tapi cepat. Kami menuju sebuah sedan mewah bercat hitam yang terparkir di depan gerbang sekolahku.

“Memangnya kita mau ke mana, Bu? Ini mobil siapa?”

“Sudah, kamu nggak usah banyak tanya. Pokoknya kita bakal dapat uang banyak hari ini.”

Aku mengikuti Ibu masuk ke mobil itu dan duduk di jok belakang. Di balik kemudi, duduk seorang laki-laki entah siapa. Sepertinya dia sebaya dengan Ayah. Laki-laki itu memutar tubuhnya untuk melihatku. Lalu dia tersenyum padaku. Ada sesuatu yang aku tidak suka pada laki-laki ini. Senyumnya lebih seperti seringai, dan pandangan matanya liar, seperti serigala yang siap menerkam mangsanya.

Lalu dia mulai menjalankan mobilnya. Sepanjang perjalanan dia terus melirikku dari spion. Aku tidak tahu kami mau dibawa ke mana, tapi sepertinya Ibu tenang-tenang saja. Bahkan, beberapa kali Ibu terkikik-kikik genit pada laki-laki itu.

Mobil yang kami naiki memasuki tempat parkir sebuah hotel berbintang lima. Aku dan Ibu turun di depan lobi.

“Kami naik duluan ya. Saya siapkan dulu semuanya,” Ibu berkata pada laki-laki itu.

Aku terus mengikuti Ibu seperti anak anjing mengikuti majikannya. Kami masuk ke salah satu kamar setelah meminta kunci dari resepsionis. Lalu aku duduk di sofa. Ini hotel berbintang lima, dan mungkin ini salah satu kamar terbaiknya, tapi entah kenapa segala sesuatu yang ada di sini membuatku merasa tidak nyaman, mulai dari lampunya yang terlalu terang sampai sofanya yang terlalu empuk.

Lalu Ibu memberiku minuman entah apa. Minuman itu tidak enak rasanya. Tapi Ibu terus memaksaku meminumnya sampai habis. Pandanganku mulai kabur dan kepalaku mulai terasa nanar.

Aku merasakan laki-laki itu memasuki kamar dan menghampiriku.

Ibu, tolong aku... Aku ingin berteriak memanggil Ibu, tapi rasanya kerongkonganku terlalu lemah untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Pandanganku makin kabur dan kepalaku makin terasa nanar. Ingatanku melayang ke saat-saat Ibu masih sering tertawa untukku.

Laki-laki itu merengkuh tubuhku.
Ibu tertawa saat melihatku bisa merangkak dan berjalan untuk pertama kalinya.
Laki-laki itu mengendongku ke ranjang.
Ibu tertawa saat membantuku mengenakan pakaian seragamku di hari pertama aku masuk TK.
Laki-laki itu membaringkan tubuhku di atas ranjang yang empuk.
Ibu tertawa saat mengajariku naik sepeda.
Laki-laki itu membuka bajuku satu per satu.
Ibu tertawa saat aku menunjukkan Raporku yang dipenuhi angka 9.
Laki-laki itu lalu membuka bajunya sendiri.
Ibu tertawa saat aku menunjukkan gambar pemandangan yang kubuat.
Laki-laki itu itu naik ke atas ranjang.
Ibu tertawa saat aku memenangkan lomba busana daerah atau lomba mewarnai.
Aku tidak ingat apa-apa lagi.

***

Saat aku terbangun, laki-laki itu sudah tidak ada. Tubuhku hanya dibalut selimut hotel. Pakaian seragam putih-abuku tercecer di sisi ranjang. Kepalaku masih terasa nanar dan badanku seperti mati rasa.

Ibu duduk di sofa. Di tangannya tergenggam sebotol minuman yang berbuih-buih. Tangannya yang lain mengibas-ngibaskan beberapa lembar seratus ribuan. Matanya berkilat-kilat.

Lalu… ia tertawa. Tawa yang sudah lama tidak aku lihat. Tawa yang sudah lama tidak aku dengar. Tapi kali ini tawanya terlalu nyaring, terlalu mengintimidasi, dan terlalu seperti dibuat-buat. Ini bukan tawa Ibu.

Kepalaku mau pecah rasanya!

28 September 2006, 11:03 p.m.

* Cerpen ini kubuat berdasarkan request V-man, seorang teman yang suka bikin film. Waktu itu dia mau bikin film dengan tema ‘jatuh/terjatuh/menjatuhkan/dijatuhkan/pokoknya semua pengembangan kata jatuh deh’, dan dia minta aku bikin ceritanya. Lalu aku pikir, di antara semua pengembangan kata ‘jatuh’ itu, yang paling ngena adalah ‘dijatuhkan’, dan akan semakin ngena lagi kalau dijatuhkannya sama orang yang paling kita sayangi dan kagumi. Biasanya, yang paling disayangi dan dikagumi orang adalah ibunya. Lalu terciptalah tokoh anonim ini, seorang remaja cewek yang masih polos yang sangat menyayangi dan mengagumi ibunya, tapi dia dijatuhkan (dalam hal ini dijerumuskan) sama ibunya sendiri.

Akhirnya, film ini selesai dibuat pada awal 2007. Sedikit kecewa waktu lihat hasilnya karena banyak perubahan di sana-sini, inti ceritanya jadi nggak dapet lagi! Tapi bangga juga ada yang mau susah-susah memvisualisasikan cerita yang kutulis.

Pernah ada yang berkomentar, cerpen ini ‘Djenar Maesa Ayu banget’. Sama sekali nggak ada maksud buat meniru dia, but yes, she’s one of my favorite writer, I really adore her works, so of course I got influenced a lot by her.

Labels:

 
posted by Adisti Dini Indreswari at 1:28 AM | Permalink |


0 Comments: