Kita mungkin merasa prihatin menyaksikan bencana-bencana yang menjadi headline di berbagai media akhir-akhir ini. Mulai dari banjir, kekeringan, gagal panen, terancam punahnya spesies tertentu, sampai wabah penyakit yang melanda manusia. Kita mungkin sudah sadar semua itu ada hubungannya dengan climate change (perubahan iklim) yang bukan cuma isu, tapi benar-benar terjadi di bumi kita ini. Tapi sadarkah kita bahwa kita sendirilah penyebab climate change itu?
Aktivitas industri
Perindustrian merupakan penyumbang GRK (Gas Rumah Kaca) terbesar di bumi. Sejak revolusi indutri pada abad ke 18, industri berkembang dengan sangat pesat. Sayangnya, hal ini sejalan dengan semakin menurunnya kualitas lingkungan.
Perusahaan-perusahaan industri menggunakan bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi, atau gas alam) dalam menghasilkan energi. Hasil sampingan dari pembakaran ini adalah GRK yang diemisikan ke udara. Ada enam gas yang termasuk kategori GRK, antara lain karbondioksida (CO2), dinitroksida ( N2O), metana (CH4), sulfurgeksafluorida (SF6), perfluorokarbon (PFCs), dan hidrofluorokarbon (HFCs). Pada awal revolusi industri, konsentrasi CO2 yang merupakan GRK terbanyak di atmosfer diperkirakan sekitar 280 ppm. Dengan laju peningkatan sebesar 0,4% per tahun selama 100 tahun ini, diperkirakan konsentrasi CO2 pada akhir tahun 2025 akan menjadi dua kali lipatnya. Jika dirata-rata, setiap orang di negara industri menghasilkan 3,2 ton gas CO2. Jumlah ini empat kali lipat dari yang rata-rata dihasilkan oleh orang di negara berkembang.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 27 tahun 1999, semua aktivitas industri pada saat perencanaannya harus membuat AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). AMDAL digunakan untuk menyusun desain rinci teknis dari kegiatan. Namun kenyataannya, masih banyak terjadi pencemaran lingkungan. Berdasarkan data kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup pada tahun 2006, dari 446 perusahaan industri di Indonesia yang diteliti ada 72 perusahaan yang masuk kategori hitam dan 154 perusahaan yang masuk kategori merah karena mencemari lingkungan.
Transportasi
Transportasi merupakan penyumbang GRK terbesar kedua setelah perindustrian. Sama seperti aktivitas perindustrian, aktivitas transportasi juga menghasilkan GRK sebagai sampingan dari proses pembakarannya. Dari seluruh CO2 yang ditimbulkan oleh transportasi, 55% ditimbulkan oleh mobil pribadi, 26% oleh sepeda motor, dan 19% oleh kendaraan umum.
Kecenderungan peningkatan jumlah penduduk di kota, yang terutama diakibatkan oleh urbanisasi, menyebabkan peningkatan mobilitas penduduk. Peningkatan mobilitas penduduk ini sayangnya tidak diimbangi oleh sarana dan prasarana tansportasi yang memadai. Di kota-kota besar di Indonesia, kemacetan atau angkutan umum yang ngetem sembarangan sudah menjadi pemandangan yang biasa. Padahal ini dapat memperburuk Efek Rumah Kaca. Penyebabnya adalah ketika mesin mobil dinyalakan dalam keadaan berhenti, mesin akan bekerja lebih keras daripada ketika mobil dijalankan, akibatnya semakin banyak CO2 yang diemisikan ke udara.
Konsumsi emisi kendaraan bermotor sangat bergantung pada jenis bahan bakar dan kondisi pembakaran di dalam mesin. Mengandalkan Catalytic converter yang dapat mengurangi emisi per km tempuh kendaraan saja tidak cukup. Sebab jika jumlah kendaraan semakin banyak dan jarak tempuhnya juga jauh, emisi total akan tetap banyak. Rata-rata setiap kendaraan bermotor mengemisikan 3 ton CO2 per tahun.
Pembakaran Hutan dan Illegal Logging
Salah satu fungsi hutan adalah sebagai penyerap emisi GRK, atau biasa disebut carbon sink. Sejak Sekolah Dasar kita diajari bahwa pohon dapat menyerap CO2 dan menghasilkan O2 untuk respirasi makhluk hidup. Oleh karena itu penebangan hutan dan perubahan tata guna lahan (dari hutan menjadi bukan hutan) menyebabkan lepasnya sejumlah emisi GRK yang sebelumnya disimpan di dalam pohon.
Baru-baru ini Greenpeace meluncurkan peta satelit yang menunjukkan bahwa hutan-hutan di bumi berada dalam kondisi kritis. Area di bumi yang merupakan hutan kurang dari 10%. Seharusnya dengan luasnya kawasan hutan di Indonesia, yaitu sekitar 144 juta ha (tahun 2002), maka emisi GRK yang dapat diserap jumlahnya cukup banyak. Namun akibat pembakaran dan illegal logging (penebangan liar untuk kepentingan komersil), terjadi laju kerusakan hutan sekitar 2,2 juta ha per tahun. Akibatnya negara menderita kerugian finansial sebesar 1,2 trilyun per tahun. Tapi yang lebih penting adalah, climate change tidak dapat dikendalikan karena tidak ada cukup pohon untuk menyerap emisi GRK. Bahkan hutan juga menjadi penyumbang GRK, yaitu CO2 yang dihasilkan dari pembakaran hutan.
Bahkan kegiatan sehari-hari kita yang mungkin dianggap sepele pun dapat melepaskan sejumlah emisi GRK ke atmosfer. Aktivitas yang menggunakan alat elektronik seperti menyalakan lampu, menonton televisi, menggunakan komputer, menyetrika pakaian, atau menyalakan AC menyumbang emisi CO2 ke udara. Pemakaian produk yang menggunakan aerosol dapat mengemisikan SF6, PFCs, dan HFCs. Begitu pula pembakaran sampah menghasilkan gas metana sebagai sampingannya.
Padahal, kita sendiri jugalah yang akan merasakan dampak dari climate change ini. Jadi semuanya kembali ke diri kita. Apakah hanya akan berdiam diri atau mulai bertindak. Sebab merasa prihatin saja tidak cukup....
Labels: Enviro