Thursday, November 15, 2007
Ahli Sampah Indonesia: Prof. Enri Damanhuri
Sampai sekarang, pengelolaan sampah di Indonesia masih menggunakan paradigma lama: kumpul-angkut-buang. Source reduction (reduksi mulai dari sumbernya) atau pemilahan sampah tidak pernah berjalan dengan baik. Meskipun telah ada upaya pengomposan dan daur ulang, tapi masih terbatas dan tidak sustainable. Pembakaran sampah dengan insinerator pun dianggap hanya memindahkan masalah ke pencemaran udara.
Sampah, topik yang kurang populer bagi sebagian besar orang ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Prof. Enri Damanhuri. Setelah lulus dari Jurusan Teknik Penyehatan (sekarang Teknik Lingkungan-red) ITB tahun 1975 dan meyelesaikan pendidikan S2 dan S3-nya dari Univesitas Paris VII, Perancis dalam bidang Kimia Pencemaran, beliau bekerja sebagai dosen di Program Studi Teknik Lingkungan ITB sejak tahun 1976. Saat ini, beliau menjabat Ketua KK (Kelompok Keahlian) Pengelolaan Udara dan Limbah di Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB.
KK merupakan ujung tombak dalam pengembangan ITB sebagai perguruan tinggi yang berbasis penelitian. Tadinya, KK Pengelolaan Udara dan KK Pengelolaan Limbah berjalan sendiri-sendiri. Baru saat diberlakukan peraturan yang mengharuskan setiap KK memiliki minimal 8 orang anggota pada tahun 2006, kedua KK itu mengalami merger. Padahal, pengelolaan udara dan limbah adalah dua hal yang sangat berbeda. "Tapi ada juga titik temunya, yaitu perubahan iklim," kata Pak Enri.
Berawal dari ketidaksengajaanSemuanya berawal dari ketidaksengajaan. "Waktu saya masuk ITB (tahun1969-red), orangtua jaman dulu kan inginnya anaknya masuk kedokteran, jadi saya memilih Jurusan Teknik Penyehatan karena saya kira itu membuat alat-alat kedokteran," kenangnya. Karena merasa salah jurusan, satu-dua tahun pertama di ITB beliau masih mencoba-coba mengikuti seleksi di perguruan tinggi lain. Pada tahun keduanya di ITB, beliau bahkan pernah mendobel kuliah di Farmasi Unpad. Barulah setelah tahun ketiga beliau bisa merasa menikmati perkuliahan di Teknik Penyehatan dan akhirnya memutuskan untuk terus menekuni dunia itu.
"Dari dulu saya sampah," katanya. Maksudnya, dari dulu beliau sudah memilih sampah sebagai spesialisasinya. "Dulu orang-orang biasanya tertarik pada pengelolaan air minum atau air buangan, tidak ada yang memilih sampah. Karena itu sebelum saya berangkat ke Perancis untukmengambil S2 dan S3 saya berpikir, harus ada yang mengisi kekosongan ini." Pak Enri menjadi doktor pertama di Indonesia yang bergerak di bidang persampahan. Bersama Dr. Tri Padmi, istrinya yang juga dosen di Teknik Lingkungan ITB dan anggota KK yang sama, beliau mendirikan Laboratorium Persampahan (sekarang Laboratorium Buangan Padat danB3-red) di ITB, yang merupakan laboratorium sampah yang pertama dan satu-satunya di Indonesia dalam skala perguruan tinggi.
Menjadi dosen pun berawal dari ketidaksengajaan. Tahun pertama setelah lulus dari ITB, beliau sempat bekerja sebagai konsultan. Pekerjaannya itu mengharuskannya sering ke kampus. Karena itu, beliau iseng-iseng mendaftar menjadi asisten beberapa mata kuliah. Setelah merasakan senangnya mengajar, setahun kemudian beliau mendaftar menjadi dosen. "Yang menarik dari menjadi dosen adalah selalu ada kesempatan untuk belajar," katanya. "Selain itu selalu ada orang baru, jadi banyak kenalan di mana-mana. Setelah mahasiswa saya lulus kan jadi partner kerja saya." Sampai sekarang, sudah 31 tahun beliau mengajar di ITB.
Teknologi Pengelolaan SampahPengelolaan sampah yang ideal adalah sedekat mungkin dengan sumbernya. Berangkat dari konsep itu, Pak Enri menjadi pelopor didirikannya PPS (Pusat Pengolah Sampah) ITB yang berlokasi di pojok Sabuga (Sasana Budaya Ganesha) pada tahun 2006. Sejak ada PPS ITB, ITB bisa mengelola sendiri sampahnya dan tidak perlu lagi bergantung pada Dinas Kebersihan.
"Waktu itu saya sedang wawancara di sebuah radio, ada yang bertanya, "ITB punya PPS sendiri nggak?" Setelah itu saya langsung menelepon LAPI, "Punya uang nggak? Ayo kita buat PPS!"" kisahnya.
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah yang sedang marak dibicarakan akhir-akhir ini, menurut Pak Enri bukanlah hal yang baru. Sampah memang merupakan sumber energi, dari panas yang dihasilkannya pada proses pembakaran. Konsep ini dikenal dengan istilah waste to energy. "Teknologi pengolahan sampah itu sebenarnya banyak sekali, dari mulai yang paling murah sampai yang paling mahal. Yang sulit adalah merubah perilaku manusianya. Nah, yang ini bukan tugas ITB," katanya. Perilaku manusia yang beliau maksud tentu saja adalah perilaku seenaknya dalam mengelola sampah, termasuk yang paling parah adalah membuang sampahsembarangan. "Cita-cita saya, di Bandung ada instalasi pengelolaan sampah yang benar-benar bagus," katanya. Saat ini, selain mengajar Pak Enri juga membuat berbagai standar nasional untuk TPA atau proses pengelolaan sampah. Beberapa di antaranya bahkan digunakan secara internasional.
Cinta KeluargaSaat tidak sedang 'mengurus sampah', Pak Enri selalu menghabiskan waktu luangnya bersama keluarga. Sekedar kumpul di rumah, atau jalan kaki bersama. "Saya ini orangnya nggak neko-neko," katanya. Anak pertamanya sudah bekerja dan berkeluarga, sedangkan anak keduanya masih kuliah di ITB.Labels: itbacid
posted by Adisti Dini Indreswari at 5:16 PM
|
Permalink |
Mereka yang Ikut Merasakan Euforia Wisuda
Raut bahagia terpancar jelas di muka Ny. Dian Sabtu (27/10) kemarin. Jelas saja, putrinya, Adyati Pradini Yudison (Teknik Lingkungan 2003) baru diwisuda. "Senang, terharu, semuanya campur aduk jadi satu," kisahnya. "Maklum, dia anak pertama. Senang rasanya bisa membimbingsampai sini."
Ny. Dian tidak sendirian. Hari itu ada sekitar 1.300 wisudawan lain yang melepas statusnya sebagai mahasiswa. Seperti yang selalu terjadi setiap wisuda, Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) dipenuhi oleh keluarga para wisudawan. Tidak sedikit yang sengaja datang jauh-jauh dari luar kota hanya untuk menyaksikan putra/putri mereka diwisuda. Di luar gedung Sabuga, massa himpunan sudah menyambut untuk siap-siap mengarak para wisudawan. Kegembiraan terasa di mana-mana. Sebuah euforia.
Tidak heran jika momen yang hanya terjadi tiga kali setahun ini dimanfaatkan oleh sejumlah orang yang ingin meraih keuntungan. Setiap ada wisuda, pedagang berbagai jenis barang dan jasa tumpah ruah di sekitar Sabuga. Mulai dari aneka makanan dan minuman, mainan anak-anak, bunga, coklat, tas, sepatu, aksesoris, obat, alat tulis, jasa foto, bahkan pengamen.
Salah satunya adalah Pak Udin (39), tukang foto keliling. Dengan kamera polaroidnya, ia berkeliling Sabuga untuk mengabadikan gambar para wisudawan dan berharap mereka akan membelinya. Pak Udin mengaku ikut senang kalau ada wisuda di ITB. "Daya beli ITB lebih bagus daripada tempat lain," katanya. Dalam sehari, ia bisa mengantongi sekitar Rp.150.000,00. "Sebenernya dulu bisa dapet lebih banyak, sayang sekarang udah nggak boleh masuk gedung lagi," keluhnya. Ada juga Bu Lina (35).Bertangkai-tangkai bunga berwarna-warni menarik tertata dengan apik di keranjang di hadapannya. Satu tangkainya dihargai Rp.10.000,00. Biasanya Bu Lina berjualan bunga di sepanjang Jl. Dago setiap malam minggu, atau kalau ada momen tertentu, misalnya Hari Valentine. Momen wisuda selalu ia tunggu-tunggu karena bunga dagangannya bisa laku lebih banyak dibandingkan biasanya, walaupun peningkatan penghasilannya tidak terlalu jauh. "Paling cuma dapet Rp.50.000,00 sehari, sekarang udah banyak saingan sih," katanya sembari tersenyum kecut. "Padahal bunga-bunga ini kalau nggak laku harus dibuang." Baik Pak Udin maupun Bu Rina mengaku sudah sekitar 3 tahun berjualan di Sabuga setiap ada wisuda.
Ya, saingan memang akan terus bertambah dari tahun ke tahun, pedagang-pedagang baru akan berdatangan dengan sendirinya. Contohnya Pak Jajang (37). Sehari-hari, dia berjualan bakso tahu di sekitar Kebun Binatang Bandung. Inilah pertama kalinya dia mangkal di Sabuga. "Saya denger dari temen saya, katanya kalau wisuda rame. Alhamdulillah, dari tadi laku," katanya sumringah. "Saya juga jadi ikut senang lihat mahasiswa-mahasiswa yang baru diwisuda," tambahnya. Selain itu, ada juga Pak Andi (29), yang membuat coklat yang cukup unik dan tidak akan ditemui di tempat lain, yaitu coklat dengan logo Ganesha. Pak Andi memang sedang mengembangkan bisnis coklatnya. Karena belum punya counter sendiri, coklat-coklat buatannya biasanya dititipkan atau dijual saat pameran. Tapi untuk berjualan saat wisuda ITB di Sabuga, ini adalah kali pertamanya. "Saya bukan sekedar jualan, tapi juga supaya perusahaan saya ini eksis," katanya. Pak Andi kebetulan adalah alumni ITB.
Namun, di antara mereka semua, yang mendapatkan tambahan penghasilan yang paling drastis mungkin adalah Pak Rohman (31) dan Pak Yusep (25). Sehari-hari mereka tidak memiliki pekerjaan tetap. Siang itu, mereka nampak sibuk mengarahkan mobil-mobil yang hendak keluar masuk Sabuga. Mulai dari memberi aba-aba, menggeser-geser mobil, sampai mengganjel ban dengan batu. Lelah dan panas sudah tidak dirasakan lagi. Pak Rohman dan Pak Yusep bukan tukang parkir resmi dari ITB, mereka berinisiatif sendiri datang ke Sabuga. Oleh karena itu, tarif parkir pun tidak dipatok, seikhlasnya pemilik kendaraan saja. Dalam sehari, mereka bisa mengantongi Rp. 20.000,00-30.000,00. "Lumayan lah, daripada nggak makan sama sekali," kata mereka. Di seluruh areal parkir Sabuga, ada sekitar 15 tukang parkir seperti mereka.
Sama seperti para wisudawan dan keluarganya, mereka juga ikut merasakan euforia untuk sehari. Setelah itu, dengan status yang sudah bukan lagi mahasiswa, tanggung jawab yang lebih besar menunggu para wisudawan. Para pedagang itu pun harus mulai lagi memeras otak untuk mendatangkan tambahan penghasilan untuk kelangsungan hidupnya. "Sering-sering aja lah wisudanya, ha... ha..." kata Pak Rohman dan Pak Romzi, kompak.Labels: itbacid
posted by Adisti Dini Indreswari at 5:06 PM
|
Permalink |
Menikmati Masakan Thailand Bersama Pak Waluyo
Bagi orang yang berasal dari golongan menegah ke atas, makan malam mewah seharga ratusan ribu rupiah atau kopi franchise seharga Rp. 30.000,00-an satu cup mungkin hal biasa. Tidak demikian bagi Pak Waluyo. Sebagai houseman di ITB, pria 43 tahun ini bertanggung jawab atas kebersihan 5 gedung di ITB. Tugasnya cukup melelahkan, mulai dari membersihkan ruangan, menyapu bagian luar gedung, sampai mengelap jendela. Untuk itu, bapak dua anak ini dibayar Rp.19.000,00 per hari yang diberikan per bulan. Istrinya hanya sesekali menerima jahitan di rumah mereka di daerah Cicaheum, Bandung. Karena kedua anaknya belum bekerja, praktis Pak Waluyolah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Penghasilannya tentu saja tidak bisa dibilang besar, apalagi jika dibandingkan dengan harga barang-barang kebutuhan pokok saat ini. Pak Waluyo yang lulusan SMP ini mengakui, prioritasnya adalah pendidikan anak, bukan makanan. “Makan apa saja lah, seadanya saja,” akunya. “Paling sayur, tahu, tempe, atau telur. Sekali-kali kalau ada rezeki ngajak keluarga ke rumah makan Padang.” Untunglah setiap hari Rabu dan Jumat Pak Waluyo mendapat jatah makan siang dari ITB sehingga pengeluarannya dapat ditekan. Di luar hari-hari itu, biasanya dia makan di warteg-warteg di daerah Balubur. Pak Waluyo yang mengaku tidak punya makanan favorit ini tidak pernah mencoba makanan asing, bukan karena tidak ingin, tapi karena tidak punya cukup uang. Makanan asing memang seringkali diidentikkan dengan mahal.
Ketika kami ajak mencoba makanan asing, pria yang cukup ramah ini langsung mengiyakan. Restoran Thailand, Raa Cha Suki & Barbeque yang berada di Cihampelas Walk menjadi pilihan kami sore itu. Kami sengaja memilih tempat duduk di terasnya untuk menghadirkan suasana yang berbeda. Restoran ini memiliki cara penyajian yang unik: kita dapat memilih sendiri makanan yang kita mau yang disajikan di etalase panjang, kemudian setelah membayarnya di kasir kita dapat merebusnya sendiri dalam pot berisi kaldu ayam yang ada di masing-masing meja.
Kebingungan tampak jelas di wajah Pak Waluyo saat harus memilih makanan. Akhirnya, dia meminta kami untuk memilihkan makanan untuknya. Berbagai variasi ikan, sea food, jamur dan sayuran mentah kami pilihkan untuknya, beserta 3 jenis saus yang berbeda. Untuk hidangan penutup, kami memilih rujak ala Thailand. Sedangkan untuk minuman, Pak Waluyo lebih memilih teh daripada kopi.
Ketika harus memasak makanannya, sekali lagi Pak Waluyo menunjukkan kebingungannya. Dengan sedikit canggung dia terus mengaduk-aduk makanan di dalam pot. Begitu juga ketika harus memilih saus mana yang akan digunakan. ”Aneh,” itulah komentar pertama dari Pak Waluyo setelah mencicipi makanan yang sudah matang di mangkuknya. Makanan Thailand yang bercita rasa pedas dan asam memang pasti terasa aneh bagi lidah Pak Waluyo yang belum pernah mencicipinya sebelumnya. Apalagi Pak Waluyo sebelumnya juga belum pernah makan sea food. Tetapi ketika ditanya enak atau tidak, dia mengangguk-angguk saja. Tetapi dia mengaku sangat menyukai Thai ice tea-nya. ”Saya setiap hari minum teh, tapi belum pernah minum teh yang seperti ini. Rasanya beda, lebih segar.” Kurang dari 30 menit, semua makanan di meja sudah habis disantap.
Nilai 10 skala 10, itulah yang diberikan Pak Waluyo untuk restoran ini secara keseluruhan, dari rasa makanan sampai suasananya. Lalu, apakah setelah ini Pak Waluyo akan mengajak keluarganya ke restoran itu? ”Pingin sih pingin, tapi harganya nggak terjangkau,” jawabnya. Semoga saja Pak Waluyo bisa mendapat banyak rezeki sehingga sekali-kali bisa mengajak keluarganya ikut mencicipi rasa makanan Thailand yang unik, tidak melulu ke rumah makan Padang.Labels: Koenjit
posted by Adisti Dini Indreswari at 5:03 PM
|
Permalink |